Selasa, 05 Maret 2013

Tomat Cherry Hidroponik, Si Manja Berprospek Cerah

Tomat Cherry Hidroponik, Si Manja Berprospek Cerah 
Jumat, 03/09/2010 | 10:07 WIB
Bertanam tomat sayur maupun tomat buah, mungkin sudah biasa bagi petani kita. Tapi bertanam tomat cherry secara hidroponik, belum banyak petani kita yang melakukannya. Memang, butuh ketelatenan tersendiri, tapi potensi rezekinya pun tidak biasa-biasa saja.

            Dua tahun lalu di kesejukan Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali ada pemandangan “aneh”. Beberapa bangunan beratap plastik transparan tegak berdiri di antara perkebunan penduduk.
I Luh Seri, Wayah Rauh, Ketut Murti, dan beberapa ibu lain tampak tekun bekerja di dalam bangunan yang disebut green house itu. Mereka secara rutin menyiram, membersihkan daun, dan sesekali membuang batang atau daun yang layu. “Tanaman ini memang manja. Harus diperlakukan seperti merawat bayi,” komentar Luh Seri (42).
Tanaman manja itu adalah tomat cherry. Ia ditanam secara hidroponik di dalam green houseyang dibangun khusus dengan biaya sekitar Rp 35 juta per unit. Uniknya, semua pengelola perkebunan “modern” ini adalah perempuan.
“Mungkin karena terbiasa mengerjakan hal-hal yang rumit dan perlu ketelitian khusus,
maka yang paling cocok mengelola perkebunan semacam ini adalah perempuan,” ujar Dra Ida Ayu Martini, pimpinan Bali Fresh, perusahaan supplier sayur-mayur yang “menggerakkan” ibu-ibu petani di Rendang itu.
            Tomat cherry yang ditekuni ibu-ibu petani Rendang tadi memang bukan tanaman asli Bali. Bibitnya pun harus didatangkan secara khusus dari Belanda. Maklum sajalah, tomat kecil-kecil yang bisa langsung dikunyah per biji itu sebagian besar diperuntukkan bagi hotel dan restoran.
“Sangat mungkin nantinya menjadi komoditas ekspor kalau kita mampu mengembangkannya secara besar-besaran. Tapi untuk itu kita membutuhkan dana besar dan keterlibatan banyak pihak,” ungkap Dayu (panggilan akrab Ida Ayu Martini) sambil mengimbau pemda untuk memperhatikan bentuk-bentuk pertanian alternatif seperti itu.
            Bali memiliki potensi besar untuk mengembangkannya. “Di kawasan seperti Rendang, Kintamani, Bedugul, dan kawasan lain yang memiliki suhu dan kelembaban serupa, jenis-jenis tanaman sejenis sangat mungkin dikembangkan,” tutur Suratna, staf Bali Fresh yang tekun mendampingi ibu-ibu petani tomat cherry di Rendang. “Harus saya akui, kami sendiri surprise dengan hasil yang diperoleh ibu-ibu ini. Tomat cherry dari Rendang ini benar-benar the best,” tambah Suratna .
            Dalam catatan Suprio Guntoro, peneliti pada Balai Penelitian Pertanian Bali, dalam sepuluh tahun terakhir ini lahan sawah susut rata-rata 300 hektar per tahun, sehingga pada saat kini luas sawah di Bali tinggal 83 ribu hektar. Sedangkan luas areal perkebunan susut rata-rata 400 hektar per tahun dan kini tinggal 166.000 hektar.
Di atas lahan yang kian sempit dan mahal itu diperlukan pengembangan pola pertanian khusus yang bisa mendatangkan nilai tambah yang lebih besar. Lihatlah perkebunan tomat cherry di Rendang ini. Masing-masing petani “hanya” menyediakan 2 are (200 meter persegi) lahan untuk menanam sekitar 400 batang tomat.
Saban dua hari mereka panen. “Selama enam bulan, kebun ini sudah menghasilkan lebih dari 1 ton,” ungkap Wayan Armadia (55), istri seorang guru SD, yang memiliki catatan rapi jumlah panenannya. Bisa dibayangkan hasil yang diperoleh bila harga tomat itu berkisar antara Rp 5.000-6.000 per kilogram di tingkat petani.
            Model pertanian tomat cherry yang dilakukan dengan sistem hidroponik sama sekali tidak tergantung musim. Meskipun tiap setahun hingga satu setengah tahun sekali tanaman tomat cherry harus diganti, namun masa tanam antarpetani bisa diatur hingga penggantian pohon tidak serentak dilakukan. Dengan demikian tidak ada masa “paceklik” dan masa kelebihan panen.
            Tapi jangan sekali-sekali memasuki green house, tempat para ibu di Rendang bertanam tomat cherry, tanpa mencuci kaki dengan disinfektan. Di depan pintu masuk telah tersedia sebuah kolam kecil berisi larutan disinfektan tempat sandal atau sepatu dicelupkan sebelum melangkah melewati pintu.
Begitu manja jenis tanaman ini hingga setiap perempuan petani yang mengelolanya harus menyediakan waktu 7-8 jam sehari untuk sekitar 400 pohon di atas lahan 2 are. “Tapi kami senang. Kami kan petani,” sergah I Luh Seri yang sempat bekerja sebagai penjahit untuk sebuah perusahaan garmen di Kuta.
            Sekali “berani” menanam tomat cherry, maka jangan harap berpikir setengah-setengah. “Bahkan kondisi tubuh dan jiwa kita sangat berpengaruh terhadap pohon,” kata Dayu. Pernah, misalnya, karena persoalan omongan kiri-kanan, semangat I Luh Seri jatuh, perasaannya tersakiti. “Dalam beberapa saat saja seluruh tanaman layu dan harus diganti dengan yang baru,” imbuh Dayu ditimpali anggukan Luh Seri sambil tersenyum.
            Manisnya keuntungan bertanam tomat cherry dengan sistem hidroponik juga diakui Supervisor Pertanian Hidroponik Departemen Pertanian Agus Wahyudi, di Jakarta. Dia mengatakan, ladang hidroponik seluas 1.200 meter persegi bisa memanen sembilan ton tomat cherry dalam waktu lima bulan. Selanjutnya, dengan harga jual Rp 6.000 per kilogram, petani bisa menangguk hasil kotor Rp 54 juta. Alhasil, dengan biaya produksi sekitar Rp 21 juta, petani bisa untung sebesar Rp 33 juta, hanya dalam waktu 5 bulan.
            Semua yang diungkapkan Dayu berikut rekan-rekannya petani tomat cherry di Rendang, dan supervisor pertanian Agus Wahyudi itu adalah kalkulasi sederhana dua tahun lalu. Tapi faktanya untuk Maret-Juni 2010 tidak terlalu jauh berbeda.
            Hasil penelusuran Surabaya Post melalui dunia maya, antara Maret-Juni 2010 itu harga tomat buah maupun tomat sayur, di sejumlah daerah di Indonesia, berkisar antara Rp 2.000-10.000 per kilogram. Sedangkan harga tomat cherry hidroponik atau organik di sejumlah supermarket, mencapai Rp 7.000-8.000 per kemasan 200 gram.
            Apa yang diungkapkan Warisan (50), petani tomat dari Padang Cahya, Balik Bukit, Liwa, Lampung Barat ini, juga patut disimak. Dia mengaku memilih menanam tomat varietas TW/hibrida besar/tomat buah. Alasannya, tomat buah memiliki pangsa pasar yang luas karena multimanfaat, selain bumbu masak, juga dapat dibuat sebagai kebutuhan aneka minuman seperti jus buah, sambal, saos dan lain-lain.
            Modal yang dibutuhkan, kata Warisan, secara keseluruhan untuk tomat besar mencapai Rp2.500 per batang. Modal tersebut sudah termasuk untuk kebutuhan mulsa, obat-obatan maupun tenaga. Jika tanaman tumbuh normal, produksi yang dihasilkan  per batang mencapai 7-8 kologram.
            Menurut dia, meskipun tomat buah memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan budi daya tomat lainnya, kelemahan yang dialami untuk tanaman tomat relatif besar. Selain memerlukan mulsa dan bahan pemberantas hama, perawatan yang dilaksanakan juga rumit yaitu memerlukan lanjaran sebagai penopang tanaman dan tali pengikat agar tanaman berdiri. Perawatan rumit yaitu setiap minggu harus mengikat setiap cabang yang menjalar agar tanaman selalu tegak.
Soal keuntungan, menurut dia, bergantung harga. Jika harga di tingkat petani mencapai Rp 2.500 per kilogram, maka keuntungannya cukup besar. Masalahnya, seringkah harga di tingkat petani mencapai Rp 2.500 per kilogram, atau bisakah melebihi Rp 2.500 per kilogram? Jadi, bertanam tomat cherry hidroponik tetap punya prospek yang cerah. ins, tio


http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=aad13efa34917f71b03a268c3fa6a40a&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar